kebudayaan Suku bangsa Sikka : studi etnografi
Selasa, Agustus 30, 2011
Basendra Samsul
Suku bangsa Sikka
berdiam di daerah antara Lio dan Larantuka, Kabupaten Sikka, daratan
Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nama Sikka kemungkinan
berasal dari kerajaan Sikka yang pernah berdiri. Mereka menyebut dirinya
dengan Ata Sikka (Orang Sikka). Bahasa mereka sangat dekat dengan
bahasa penduduk di Pulau Solor, yaitu samasama kelas bahasa Ambon-Timor
dari kelompok bahasa Papuan. Kehidupan ekonomi orang Sikka sangat
tergantung kepada perladangan dengan tanaman pokok padi dan jagung,
ditambah dengan singkong, sorgum dan ubi jalar manis. Sebagian kecil
juga beternak sapi, kambing, kuda, itik, dan ayam. Penduduk yang tinggal
dekat pantai bisa pula menangkap ikan, tetapi mereka bukan masyarakat
nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil laut.
Pola
perkampungan tradisional mereka memanfaatkan daerah perbukitan dan
lembah yang strategis untuk keamanan, kampung tradisional tersebut
memusat pada sebuah batu altar persembahan yang disebut mahe. Dalam kampung terdapat sebuah rumah adat yang disebut woga,
yaitu semacam rumah bujang tempat upacara-upacara adat dan keagamaan,
seperti tradisi bersunat. Sekarang sebagian sudah membuat pemukiman
dengan pola mengikuti alur jalan raya dan ditandai oleh sebuah bangunan
gereja sebagai pusat keagamaan warga. Masyarakat Sikka Barat cenderung
menganut hubungan patrilineal, sedangkan orang Sikka Timur lebih
fleksibel dengan kekerabatan ambilinealnya, di mana anak-anak mengikuti
garis keturunan dari kelompok keluarga luas ke mana orang tua mereka
menetap. Orang Sikka sangat mengutamakan keluarga luas. Orang Sikka
Barat menyebutnya dengan nama ku’at atau ku’at wungung, dan orang Sikka Timur menamainya dengan suku.
Agama
Katolik sudah masuk ke dalam masyarakat Sikka sejak zaman raja-raja
Sikka dulu, sehingga kehidupan seremonial sudah sejak lama pula diwarnai
oleh ritus Katolik. Religi tradisional orang Sikka adalah kepercayaan kepada dewa-dewa. Dewa utama adalah
pasangan Lero Wulang dan Niang Tana, yaitu simbol bulan-matahari dan
bumi. Selain itu ada pula dewa-dewa yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari dan kematian. Ritus religi lama yang mengharuskan setiap
remaja lelaki disunat sudah tidak ada lagi sejak Ritus Katolik mereka
terima sepenuhnya.
Zulyani Hidayah (1999).
0 komentar:
Posting Komentar