Relativisme Budaya
Relativisme budaya adalah sebuah
aliran pemikiran dalam kebudayaan yang menolak adanya suatu klaim
legitimatif yang menentukan cita rasa, aktivitas, ketertarikan dan
norma-norma yang berlaku secara universal. Dalam selera musik, misalnya,
musik pop tidak dapat dianggap lebih rendah daripada musik klasik;
pengetahuan tentang fisika atau filsafat tidak dapat dianggap lebih
tinggi nilainya dibandingkan dengan pengetahuan tentang sepak bola.
Berdasarkan prinsip ini kaum egalitarian menuntut keragaman kurikulum
sesuai dengan latarbelakang kebudayaan setiap siswa.
Ternyata di balik tuntutan itu terdapat asumsi-asumsi kesetaraan yang segera akan dibahas:
3.1 Kurikulum adalah milik kebudayaan kelas menengah
Menurut kaum egalitarian, suatu sistem
pendidikan dikatakan gagal bila anak-anak yang berasal dari kelas sosial
tertentu secara teratur lebih beruntung daripada anak-anak yang berasal
dari kelas sosial yang lain. Dalam pengertian inilah, mereka menuduh
sistem pendidikan dewasa ini hanya menguntungkan anak-anak dari kelas
menengah. Materi kurikulum dalam pendidikan adalah produk kebudayaan
kelas menengah. Sejalan dengan pandangan ini, kaum egalitarian
beranggapan bahwa kegagalan siswa yang berasal dari kelas buruh
disebabkan karena mereka tidak mengenal produk kebudayaan yang terdapat
dalam kurikulum pendidikan. Nah, untuk mengatasi ketimpangan ini kaum
egalitarian menganjurkan perombakan kurikulum. Kurikulum harus dibuat
berdasarkan latar belakang kebudayaan yang dihidupi oleh siswa. Dengan
demikian, siswa yang berasal dari kelas sosial yang selama ini tidak
beruntung (kaum buruh, kelas minoritas) dapat mencapai kesuksesan
seperti yang dicapai oleh siswa yang berasal dari kelas menengah.
Pandangan kaum egalitarian ini tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, memperbaiki kurikulum tidak menjadi
jaminan bahwa setiap siswa akan mencapai tingkat kesuksesan yang sama.
Selain itu, tuntutan seperti itu mengandaikan bahwa ada kebudayaan yang
dianggap lebih rendah dari kebudayaan yang lain. Artinya, ada sebuah
otoritas yang memiliki kewibawaan untuk mengatakan bahwa sebuah
masyarakat mengalami kemunduran dalam hal kebudayaan atau ‘dicabut dari
akar budayanya’ (cultural depravation). Padahal, penilaian evaluatif terhadap sebuah kebudayaan kerap terjebak antara cultural depravation dan cultural difference (perbedaan
budaya). Kerap terjadi bahwa kebudayaan X dinilai lebih rendah daripada
kebudayaan Y semata-mata karena kebudayaan X berbeda dengan kebudayaan
Y. Kekeliruan ini dapat terjadi karena dua hal berikut, yakni :
3.1.1 Relativisme nilai dalam produk kebudayaan
Berdasarkan relativisme nilai kita tidak
dapat menilai tinggi-rendahnya nilai yang terkandung dalam sebuah produk
kebudayaan. Pandangan ini mengandung dua kekeliruan sebagaimana akan
dijelaskan di bawah ini:
1) Karya-karya besar adalah milik semua orang. Karya besar seperi Bhagavad Gita; The Brothers Karamazov, Beethoven, The Critique of Pure Reason
merupakan produk-produk kebudayaan yang tak ternilai harganya bagi umat
manusia. Adalah kekeliruan menarik kesimpulan bahwa karya-karya itu
tidak bermutu hanya karena alasan bahwa tidak semua orang dapat
memahaminya. Ketidakmampuan untuk mengapresiasikan suatu produk
kebudayaan tidak menyatakan bahwa produk tersebut bernilai rendah.
Problematika ini mirip dengan pandangan yang mengatakan bahwa karya
sastra Eropa yang termasyhur adalah lebih berguna daripada karya sastra
Timur. Karya sastra Eropa adalah refleksi kebudayaan orang Eropa yang
tidak terdapat dalam karya sastra Timur. Kesadaran orang Eropa hidup
dalam karya sastra Eropa. Kesadaran orang Timur hidup dalam karya sastra
Timur dalam suasana yang asing bagi orang Eropa. Nah, jika logika
penilaian ini diterima, maka kita tidak dapat mengatakan bahwa Bhagavad Gita adalah sebuah karya besar hanya bagi orang India. Bhagavad Gita adalah sebuah karya besar pada dirinya (as it is)
– baik bagi orang India maupun bagi bangsa lain. Jadi pendapat yang
mengatakan bahwa karya sastra Eropa (atau Timur) mempunyai nilai besar
bagi orang Eropa (Timur) bukan merupakan pemahaman relativisme budaya.
Pendapat ini sebetulnya muncul dari fakta bahwa ada kecenderungan baik
pada orang Eropa maupun pada orang Timur (Asia) untuk membaca karya
sastra yang bercerita tentang kebudayaan mereka masing-masing. Fakta ini
adalah sesuatu yang wajar karena setiap orang akan cenderung memilih
karya yang merefleksikan pengalaman kehidupan di seputarnya.
2) Karya-karya besar tidak
selamanya menjadi milik kelas menengah. Tidak semua karya besar yang
dinikmati oleh kelas menengah menggambarkan kebudayaan kelas menengah.
Majalah Times, atau teori ekonomi Karl Marx, misalnya, tidak banyak bercerita tentang kehidupan masyarakat kelas menengah.
3.1.2 Ketidaksepakatan umum
Relativisme budaya mengatakan bahwa ada
ketidaksepatakan umum mengenai apa yang benar, baik, tepat atau cantik.
Dalam konteks inilah kaum egalitarian mengatakan bahwa dalam dunia
pendidikan terdapat ketidaksepakatan menyangkut apa yang harus dibaca,
dilihat, dan dipelajari oleh siswa.
Kaum egalitarian melakukan kekeliruan
ketika menafsirkan relativisme budaya. Kekeliruan itu dapat dilihat
dalam dua argumentasi berikut ini:
1) Kaum relativis jatuh dalam
relativisme nilai berdasarkan ‘suka atau tidak suka’; menyenangkan atau
tidak menyenangkan. Orang yang menolak nilai yang terkandung dalam
produk kebudayaan hanya karena ia tidak menyukainya adalah orang yang
memberikan penilaian berdasarkan kesenangan semata. Penilaian seperti
ini tidak dapat dijadikan pegangan untuk mengatakan bahwa tidak ada
kesepatakan umum dalam kebudayaan.
2) Kaum relativis mencampuradukkan
ketidaksepakatan moral dan perbedaan penilaian moral. Misalnya: Jakobus
menyarankan supaya Dani mencuri uang, sementara Imam menyarankan kepada
Dani untuk tidak melakukannya. Jakobus dan Imam sadar bahwa mencuri uang
milik orang lain adalah salah secara moral. Tetapi menurut Jakobus,
mencuri bukan segala-galanya dalam hidup ini. Kasus ini adalah contoh
dari perbedaan penilaian moral dan bukan ketidaksepakatan moral.
Kedua-duanya menyetujui bahwa mencuri merupakan dosa. Tetapi mereka
memberi penilaian yang berbeda. Jakobus merasionalisasikan pencurian
demi alasan tertentu (mungkin untuk membeli obat untuk isterinya yang
sedang sakit).
Seseorang atau suatu kelompok dapat saja
mengajukan alasan untuk menolak mata pelajaran tertentu sekalipun
pelajaran itu mengandung unsur-unsur kebudayaan yang berguna bagi
kelompok lain. Tapi tidak berarti bahwa seseorang atau suatu kelompok
yang tidak setuju dengan nilai yang terdapat dalam produk kebudayaan itu
berhak untuk menghancurkannya. Penghancuran terhadap sebuah karya
kebudayaan karena tidak sanggup melihat nilai yang terkandung di
dalamnya adalah tindakan anarkhis relativisme. Sejarah mengingatkan
supaya tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan Plato terhadap karya
Homeros.
3.1.3 Relativisme moral
Relativisme moral berarti tidak ada penilaian absolut mengenai apa yang benar dan apa yang salah. Tidak
sedikit filsuf yang menganut aliran ini. Protagoras, misalnya,
mengatakan bahwa benar-salahnya sesuatu tergantung pada individu yang
memberi penilaian. Engels menyatakan bahwa ‘penilaian moral’ (moral judgment)
tergantung pada kelas sosial tertentu; sementara Hegel menegaskan
bahwa negaralah yang menentukan penilaian mana yang benar dan yang
salah.
Jika relativisme moral dijadikan sebagai
pijakan relativisme budaya, maka konsep hidup yang baik dan produk
kebudayaan yang bermutu tergantung pada penilaian moral tertentu.
Misalnya, gaya hidup Samurai mulai ditinggalkan oleh orang Jepang karena
ada perubahan penilain moral terhadap gaya hidup seperti itu. Atau,
tuntutan untuk menghapuskan kelas-kelas sosial (pemilik modal dan buruh)
dalam teori Marx, tidak dapat dilepaskan dari penilaian moral tentang
hidup yang baik. Dewasa ini berkembang pandangan bahwa mengorbankan
binatang demi kenikmatan manusia dianggap tidak bermoral.
Siapa yang akan bertanggung jawab bila
konsep tentang hidup yang baik tidak sesuai dengan kenyataan? Negaralah
satu-satunya institusi terbesar yang memiliki wewenang untuk memaksakan
konsep hidup yang baik agar sesuai dengan kenyataan. Nah, di sinilah
letak kekeliruan yang terdapat dalam relativisme moral. Sebab, bila ada
institusi (negara) yang memaksakan suatu konsep hidup yang baik kepada
orang lain, maka relativisme moral mengalami kematianya.
3.2 Kekeliruan menafsirkan Prinsip Perbedaan
Kaum egalitarian salah menafsirkan
pandangan John Rawls mengenai Prinsip Perbedaan. Prinsip ini pada
dasarnya menuntut bahwa setiap orang harus menerima hal yang sama. Bila
terdapat perbedaan maka, perbedaan itu harus menguntungkan orang yang
paling tidak diuntungkan. Berdasarkan prinsip ini kaum egalitarian
menuntut supaya sekolah memberikan perhatian yang lebih besar kepada
siswa yang berasal dari keluarga kaum buruh. Mereka membutuhkan
perhatian lebih dari pihak sekolah agar mereka mampu mengikuti
perkembangan kebudayaan. Tuntutan ini sulit diwujudkan, karena sekolah
selalu akan memberi perhatian lebih besar pada anak yang lebih
pandai/berbakat.
Dari penjelasan di atas kita dapat
menyimpulkan bahwa tuntutan keragaman kurikulum berdasarkan perbedaan
latar-belakang siswa tidak dapat dipenuhi. Kurikulum pendidikan
mengandung unsur-unsur kebudayaan yang berguna bagi semua siswa.
Kurikulum pendidikan bukan hanya milik kelas menengah saja. Kesimpulan
ini akan dipertegas dalam pembahasan berikut ini.
0 komentar:
Posting Komentar